Long Isun Community Pushes for Mediation in Formal Complaint Against World Bank Carbon Project in Indonesia / Masyarakat Long Isun Mendorong untuk Diadakannya Mediasi dalam Komplain Resmi terhadap Proyek Karbon oleh Bank Dunia di Indonesia

East Kalimantan, Indonesia, November 6, 2025 – Members and representatives of the Long Isun Indigenous community have filed a formal complaint against a World Bank Emission Reduction (ER) project in East Kalimantan, Indonesia, citing both environmental and Indigenous rights issues. The complaint has been filed with support from Pekumpulan Nurani Perempuan, Accountability Counsel, and Forest Peoples Programme.

The concerns center on the East Kalimantan Project for ER Results (P166244), financed by the World Bank through the Forest Carbon Partnership Facility (FCPF). The Program is intended to reduce greenhouse gas emissions from deforestation and forest degradation, and it includes a Benefit Sharing Plan (BSP) to distribute emission reduction payments.

In the complaint, the Long Isun community asserts that the project has:

• Caused and will continue to cause harm due to discrimination based on Indigenous status.
• Failed to resolve long-standing land boundary disputes (as it was intended to do).
• Incentivized further delays in the Indonesian government’s indigenous recognition process for Long Isun.
• Forced the Indigenous community to give consent through a sham Free Prior Informed Consent (FPIC) process, and prevented them from truly opting out.

“The ER project was supposed to support the resolution of land boundary disputes and accelerate MHA recognition for groups like Long Isun, but these steps were never taken,” said Martha Doq, Director of Perkumpulan Nurani Perempuan.

Impacted communities have requested that the World Bank’s Accountability Mechanism initiate a mediation process with meaningful involvement from local government actors to reach mutually agreed solutions through facilitated dialogue. The Long Isun community is also urging the Accountability Mechanism to ensure a commitment from the Government of Indonesia against any form of retaliation against community members resulting from their involvement in this process.

In light of the harms already experienced and the potential harms that will escalate if the Project continues without urgent corrective action, the Long Isun community is requesting that the World Bank immediately:

• Suspend the final tranche of disbursement to the Government of Indonesia (USD 89.1 million) until the complaint process concludes.
• Respect Long Isun’s decision to opt out of the Project.
• Cease ER Project activities in Long Isun territory until the resolution of land boundary conflicts and approval of Masyarakat Hukum Adat (MHA) status.
• Recognize harms suffered by Long Isun, including retaliation, intimidation, gender-based harms, and violations of the right to Free, Prior, and Informed Consent (FPIC).
• Revise the Benefit Sharing Plan (BSP) to address structural discrimination and inequities.
• Reform the project to align with a rights-based, Indigenous-led model of conservation.

“The World Bank’s failure to comply with its own safeguard policies and risk assessments is directly contributing to the harms experienced by Long Isun,” said Julio Castor Achmadi, Communities Associate at Accountability Counsel.

One of the most persistent harms has been the long-standing delay in Long Isun’s formal indigenous recognition, or MHA. In East Kalimantan, only four Indigenous communities have been recognized as MHA, and none of the 50 villages in the regency where Long Isun is located have MHA recognition. Without this formal recognition, the community’s land tenure rights are unsecured and it remains vulnerable to dispossession, conflict and exclusion.

“Recognition of Indigenous territories is the first condition for real conservation. Without it, carbon projects like this only strengthen control by corporations and weaken the communities who have protected forests for generations,” said Fathur Roziqin Fen, WALHI Kalimantan Timur.

For years, the Bank has deferred to the Government of Indonesia’s slow-moving recognition process, and it has failed to monitor or enforce the implementation of any mitigation measures to protect communities like Long Isun from conflict.

“We cannot talk about carbon or conservation while our land boundaries are still disputed and our rights remain unrecognized. Without MHA recognition, there will never be a fair or positive outcome for Long Isun,” said Theodorus Tekwan, Long Isun representative.

Contact persons:

Martha, Perkumpulan Nurani Perempuan: +62 8115861244
Hanyang, Perkumpulan Nurani Perempuan: +62 812534833305
Fathur Roziqin Fen, WALHI Kalimantan Timur: +62 811598002
Julio Castor Achmadi, Accountability Counsel: +62 8999101176

Signatories:

Perkumpulan Nurani Perempuan
Pokja 30
Accountability Counsel
Forest Peoples Programme
WALHI Kalimantan Timur
Rainforest Action Network

Photo Credit: Rainforest Action Network

––––––––––––

Kalimantan Timur, Indonesia, November 6, 2025 – Masyarakat adat Long Isun, melalui perwakilan mereka, telah mengajukan sebuah komplain terhadap Proyek Pengurangan Emisi (Emission Reduction / ER) DI Kalimantan Timur, di mana komplain tersebut menggarisbawahi perihal lingkungan dan hak-hak masyarakat adat. Komplain tersebut disusun dan diajukan dengan dukungan dari Perkumpulan Nurani Perempuan, Accountability Counsel dan Forest Peoples Programme.

Poros dari kekhawatiran yang disampaikan dalam komplain tersebut adalah East Kalimantan Project for ER Results (P166244), sebuah proyek yang didanai oleh Bank Dunia melalui Forest Carbon Partnership Facility (FCPF). Program ini melibatkan sebuah Skema Pembagian Manfaat (Benefit Sharing Plan, BSP).

Di dalam komplain mereka, Masyarakat Long Isun menekankan bahwa proyek tersebut telah:

• Mencederai masyarakat karena sifatnya yang diskriminatif berdasarkan diakui atau tidaknya status adat masyarakat; dan hal tersebut akan terus berlanjut bila dibiarkan.
• Gagal menuntaskan sengketa tapal batas yang telah berkepanjangan (yang mana resolusi akan konflik ini merupakan intensi awal dari proyek).
• Memberi insentif bagi penundaan pengakuan status Long Isun sebagai Masyarakat Hukum Adat dalam mekanisme pemerintah Indonesia.
• Memaksa masyarakat untuk memberikan persetujuan melalui proses PADIATAPA yang menyesatkan, dan juga menghalangi masyarakat dari hak mereka untuk menyetujui dan mengeluarkan diri dari proyek ini.

“Proyek ER ini seharusnya mendukung tercapainya resolusi sengketa tapal batas, serta mempercepat pengakuan MHA bagi kelompok-kelompok masyarakat seperti Long Isun, namun langkah-langkah ini tidak pernah diambil,” ujar Martha Doq, Direktur Perkumpulan Nurani Perempuan.

Masyarakat telah meminta kepada Mekanisme Akuntabilitas Bank Dunia untuk mengadakan mediasi yang melibatkan pihak Pemerintah Indonesia agar dapat mencapai solusi yang disepakati bersama melalui dialog yang bermakna. Masyarakat Long Isun juga meminta Mekanisme Akuntabilitas untuk memastikan adanya komitmen oleh Pemerintah dalam mencegah terjadinya tindakan balasan atau retaliasi apapun terhadap anggota masyarakat karena keterlibatan mereka dalam proses ini.

Dikarenakan sudah adanya kerugian yang dialami, dan juga potensi kerugian yang akan berlanjut atau bahkan menjadi lebih parah bila proyek tersebut berlanjut tanpa diadakan tindakan korektif, Masyarakat Long Isun meminta agar pihak Bank Dunia segera melakukan hal-hal ini:

• Menahan dana tahap akhir yang belum diberikan kepada Pemerintah Indonesia (sebesar 89,1 Juta USD) hingga selesainya proses komplain.
• Menghormati keputusan Long Isun untuk mengeluarkan diri dari Proyek tersebut.
• Menghentikan kegiatan apapun yang berkaitan dengan Proyek ER di wilayah Long Isun hingga terselesaikannya konflik tapal batas yang berlangsung, dan diakuinya status MHA Long Isun.
• Mengakui kerugian-kerugian yang telah dialami Long Isun, termasuk tindakan balasan, intimidasi, kerugian berbasis gender, dan pelanggaran terhadap hak-hak terkait PADIATAPA.
• Merevisi BSP untuk menangani diskriminasi dan ketidakadilan struktural.
• Mereformasi proyek ini agar menjadi model konservasi yang dipimpin oleh masyarakat adat yang juga memperhatikan hak-hak mereka.

“Kegagalan pihak Bank Dunia dalam mengikuti Kebijakan Perlindungan (safeguard policies) dan kajian risiko yang telah mereka susun sendiri telah berperan serta dalam menciptakan hal-hal yang melanggar hak Masyarakat Long Isun,” kutip Julio Castor Achmadi, Communities Associate dari Accountability Counsel.

Salah satu kerugian yang paling kentara dirasakan oleh masyarakat adalah tertundanya pengakuan akan status sebagai MHA (Masyarakat Hukum Adat). Di Kalimantan Timur sendiri, hanya 4 kelompok masyarakat yang telah diakui sebagai MHA. Saat ini, tidak satupun dari 50 Desa di Mahakam Ulu, termasuk Long Isun, diakui sebagai MHA. Tanpa pengakuan ini, hak tenurial masyarakat sangatlah rentan terhadap resiko perampasan, konflik dan bahkan penggusuran.

“Mengakui wilayah adat adalah langkah awal menuju konservasi yang berkeadilan. Tanpa hal tersebut, proyek-proyek karbon seperti ini hanya akan memperkuat kendali pihak-pihak korporat dan melemahkan posisi masyarakat yang justru telah melindungi hutan secara turun-temurun,” mengutip Fathur Roziqin Fen, WALHI Kalimantan Timur.

Selama bertahun-tahun, pihak Bank hanya melakukan pembiaran terhadap proses pengakuan Pemerintah yang lamban dan juga telah gagal memonitor atau menegakkan penerapan upaya mitigasi untuk melindungi masyarakat seperti Long Isun dari konflik.

“Kita tidak bisa bicara soal karbon atau konservasi; tapal batas kami saja masih dalam sengketa, dan hak-hak kami belum diakui. Tanpa pengakuan sebagai MHA, tidak akan bisa ada dampak positif dari proyek karbon bagi Long Isun,” ucap Theodorus Tekwan, Perwakilan Long Isun.

Narahubung:

Martha, Perkumpulan Nurani Perempuan: +62 8115861244
Hanyang, Perkumpulan Nurani Perempuan: +62 812534833305
Fathur Roziqin Fen, WALHI Kalimantan Timur: +62 811598002
Julio Castor Achmadi, Accountability Counsel: +62 8999101176

Didukung oleh:

Perkumpulan Nurani Perempuan
Pokja 30
Forest Peoples Programme
Accountability Counsel
WALHI Kalimantan Timur
Rainforest Action Network

Kredit foto: Rainforest Action Network